Nenek moyangnya adalah Tionghoa Hokkian yang datang ke Tangerang dan tinggal turun- temurun di kawasan Pasar Lama. Mereka masuk dengan perahu melalui Sungai Cisadane sejak lebih 300 tahun silam.
Tionghoa Benteng memang selalu diidentifikasi dengan stereotip orang Tionghoa berkulit hitam atau gelap, jagoan bela diri, dan hidupnya pas-pasan atau malah miskin. Sampai sekarang, ternyata mereka juga tetap miskin meski sudah jarang yang jago bela diri.
Meski ada beberapa yang sudah berhasil sebagai pedagang, sebagian besar Tionghoa Benteng hidup sebagai petani, peternak, nelayan. Bahkan, ada juga pengayuh becak.
Sejarah Tionghoa Tangerang memang sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya) yang berada di tepi sungai dan merupakan permukiman pertama masyarakat Tionghoa di sana. Struktur tata ruangnya sangat baik dan itu merupakan cikal-bakal Kota Tangerang. Mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Sayangnya, sekarang tinggal sedikit saja bangunan yang masih berciri khas pecinan.
Pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang Tionghoa dipindahkan ke kawasan Pasar Baru dan sejak itu mulai menyebar ke daerah2 lainnya. Menurut Tagara Wijaya, yang bernama asli Oey Tjie Hoeng (77), yang menjabat Ketua Umum Klenteng Boen Sen Bio (1967-1978), Pasar Baru pada tempo dulu merupakan tempat transaksi (sistem barter) barang orang2 Tionghoa yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal.
Mengenai asal-usul kata Tionghoa Benteng, menurut sinolog dari Universitas Indonesia, Eddy Prabowo Witanto MA, tidak terlepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-sekarang sudah rata dengan tanah-terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang.
Pada saat itu, kata Eddy, banyak orang Tionghoa Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah "Cina Benteng".
Tahun 1740, terjadi pemberontakan orang Tionghoa menyusul keputusan Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkapi orang2 Tionghoa yang dicurigai. Mereka akan dikirim ke Sri Lanka untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik VOC.
Pemberontakan itu dibalas serangan serdadu kompeni ke perkampungan2 Tionghoa di Batavia (Jakarta). Sedikitnya 10.000 orang tewas dan sejak itu banyak orang Tionghoa mengungsi untuk mencari tempat baru di daerah Tangerang, seperti Mauk, Serpong, Cisoka, Legok, dan bahkan sampai Parung di daerah Bogor.
Itulah sebabnya banyak orang Tionghoa yang tinggal di pedesaan di pelosok Tangerang-di luar pecinan di Pasar Lama dan Pasar Baru.
Meski demikian, menurut pemerhati budaya Tionghoa Indonesia, David Kwa, mereka yang tinggal di luar Pasar Lama dan Pasar Baru itu tetap disebut sebagai China Benteng.
Sebagai kawasan permukiman Tionghoa, di Pasar Lama dibangun kelenteng tertua, Boen Tek Bio, yang didirikan tahun 1684 dan merupakan bangunan paling tua di Tangerang. Lima tahun kemudian, 1869, di Pasar Baru dibangun kelenteng Boen San Bio (Nimmala).
Kedua kelenteng itulah saksi sejarah bahwa orang2 Tionghoa sudah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad silam.
Dalam penelitiannya, sarjana Seni Rupa dan Desain ITB Jurusan Desain Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, antara lain menyebutkan, sekitar 80 persen dari 19.191 warga Kelurahan Sukasari di Kotamadya Tangerang adalah orang Tionghoa Benteng. Angka statistik April 2002 ini tidaklah mengherankan karena Pasar Lama masuk dalam wilayah Sukasari.
Menurut Sherly, kehidupan masyarakat Tionghoa Benteng memang keras agar bisa bertahan hidup. Sebab, sebagian besar pekerjaan mereka bukan dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai petani di pedesaan.
Yang unik dari masyarakat Tionghoa Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Tionghoa. Logat mereka bahkan sudah sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Tionghoa Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa ina meskipun hidup kesehariannya juga banyak yang petani miskin.
Logat Tionghoa Benteng memang khas. Ketika mengucapkan kalimat, "Mau ke mana", misalnya, kata "na" diucapkan lebih panjang sehingga terdengar "mau kemanaaaa".
Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong yang merupakan bentuk lain akulturasi masyarakat Tionghoa Benteng. Sebab, gambang kromong selalu dimainkan dalam pesta2 perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya merupakan budaya tayub masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu.
Meski demikian, masyarakat Tionghoa Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Ini terlihat pada tatacara upacara perkawinan dan kematian. Salah satunya tampak pada keberadaan "Meja Abu" di setiap rumah orang Tionghoa Benteng.
"Tidak usah dipertentangkan. Realitasnya, masyarakat Tionghoa Benteng memang sudah berakulturasi dengan lingkungan lokal, tapi mereka juga masih memegang adat istiadat kepercayaan nenek moyang dan leluhur mereka," kata Eddy.
Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan antara lain Cap Go Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Pek Cun, Tiong Ciu Pia (kue bulan), dan Pek Gwee Cap Go (hari kesempurnaan).
Demikian pula panggilan encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. "Juga salam (pai) tetap dipertahankan dalam keluarga Tionghoa Benteng pada saat bertemu dengan orang lain," kata Asiuntapura Markum (55) yang lahir di Tangerang.
Yang khas dari masyarakat Tionghoa Benteng adalah pakaian pengantin yang merupakan campuran budaya Tionghoa dan Betawi. Pakaian pengantin laki2, kata Eddy, merupakan pakaian kebesaran Dinasti Ching, seperti terlihat dari topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi Tionghoa-Betawi yang tampak pada kembang goyang.
Secara ekonomi, masyarakat tradisional Tionghoa Benteng hidup pas-pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.
Ny Kenny atau Lim Keng Nio (48) yang tinggal di Gang Cilangkap RT 03 RW 02, Kelurahan Sukasari, Tangerang, misalnya, setiap hari harus bangun pagi2 untuk membawa dagangan kue ke pasar. Ong Gian, petani sawah di Neglasari yang nyambi menjadi pemain musik gambang-kromong, juga harus bekerja keras untuk bisa mempertahankan hidup.
Fenomena Tionghoa Benteng, kata Eddy, merupakan bukti nyata betapa harmonisnya kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Tionghoa Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang Tionghoa memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi.
David Kwa lebih melihat fenomena Tionghoa Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang terjadi secara alamiah. Masyarakat Tionghoa Benteng hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuat David yakin, persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh orang2 yang punya kepentingan politik.
Realitas Tionghoa Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Tionghoa sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Bahkan, Ridwan Saidi, pengamat budaya dari Betawi, melihat realitas Tionghoa Benteng sebagai wajah lain Indonesia. Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin.
Bagi mereka, wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di kelenteng-kelenteng. [Mariati Ong / Tangerang]