Diantaranya terdapat 20 ribuan perempuan Tiongkok diperkosa dan sepertiga rumah penduduk dibumi-hanguskan.
* Chiang Pertahankan Nanking, Jepang Keluarkan Perintah
7 Juli 1937, tentara Jepang merekayasa Insiden Jembatan Marcopolo yang mengejutkan dunia, peperangan antara Tiongkok dan Jepang yang kedua kali telah meletus, maka pecahlah perang kedua antara Tiongkok dan Jepang.
Sejak tentara Jepang melakukan invasi ke Tiongkok, mereka mengalami perlawanan hebat dari tentara nasional Tiongkok, terutama pertempuran Song Hu di wilayah Shanghai yang dimulai 13 Agustus 1937, tentara nasional Tiongkok telah melakukan pertempuran yang sengit dan alot melawan tentara Jepang selama 3 bulan, secara tuntas telah memupus niatan tentara Jepang yang berkhayal memusnahkan Tiongkok dalam tempo tiga bulan. Namun situasi peperangan berubah drastis setelah korps tentara Jepang ke-10 mendarat di Teluk Hang Zhou, tentara defensif Tiongkok yang berjaga di posisi samping belakang terkena serangan sehingga terpaksa mundur dari semua lini.
17-18 November, PNT (Partai Nasionalis Tiongkok) mengadakan rapat tiga kali mendiskusikan masalah pertahanan Nanking. Dalam rapat kebanyakan perwira tinggi militer beranggapan pasukan membutuhkan konsolidasi, sedangkan Nanking secara militer mustahil dipertahankan, mereka mengusulkan hanya melakukan perlawanan simbolis saja.
Tetapi Tang Shengzhi mantan raja perang daerah Xiang, yang saat itu menjabat jenderal bintang empat PNT dan Liu Fei (ternyata kelak diketahui sebagai mata-mata PKT yang saat itu menjabat pangkostrad berpangkat mayjen, mereka bersikukuh mempertahankan Nanking sampai saat terakhir.
Selama ini sikap panglima tertinggi Tiongkok, Chiang Kaishek, adalah bertekad melakukan perlawanan tuntas, ia berpendapat walaupun tidak bisa segera menang dari pasukan Jepang yang sangat kuat pada saat itu, tetapi seiring dengan garis peperangan dengan tentara Jepang yang kian diperpanjang, Tiongkok dipastikan adalah pemenang terakhir; Bersamaan dengan itu dia juga mengharapkan pertempuran untuk membela ibu kota ini, bisa bermanfaat bagi mediasi diplomatik Jerman terhadap Tiongkok dan Jepang, serta masih mungkin bisa menantikan campur tangan militer dari Uni Soviet.
Berdasarkan pertimbangan hubungan diplomatik dan politik dalam negeri dan digabungkan dengan kekuatan sebenarnya dari pasukan nasionalis saat itu, akhirnya Chiang Kaishek menerima saran Tang Shengzhi dan Liu Fei serta memutuskan untuk mempertahankan Nanking dalam jangka waktu pendek 1-2 bulan. Diangkatlah Tang sebagai pimpinan komandan pembela ibu kota yang bertanggung jawab atas pertempuran mempertahankan Nanking.
Menurut pengambilan keputusan dalam mempertahankan Nanking, komando tertinggi Tiongkok telah mengumpulkan pasukan sejumlah 150 ribu personil untuk mempertahankan Nanking. Tang Shengzhi berkali-kali memberikan pernyataan secara terbuka dan bersumpah sehidup semati bersama Kota Nanking, dia berjanji kepada Chiang Kaishek tidak akan mundur sebelum mendapatkan perintah.
Demi memencegah pasukannya diam-diam mundur menyeberangi sungai, Tang Shengzhi mengambil sikap bertempur sampai mati dengan membelakangi sungai. Dia memberikan perintah kepada segenap pasukan untuk menyerahkan kapal-kapal yang mereka kontrol kepada markas besar, dan dua kapal pengangkut yang bisa mencapai Pelabuhan Pukou ditarik mundur ke Kota Wu Han, juga memerintahkan divisi ke-36 memblokir Pelabuhan Yi Jiang Men jalan mundur satu-satunya dari Nanking ke pelabuhan yang berada di Xia Guan, perintah yang paling drastis ini kelak terbukti menjadi penghambat mematikan yang tragis bagi pasukan yang hendak mundur.
Rencana semula tentara Jepang adalah membinasakan pasukan inti Tiongkok di sekitar Shanghai, untuk memaksa pemerintahan Nanking Tiongkok menyerah. Namun, pertempuran Song Hu telah membuat Jepang menderita kerugian yang amat besar, sehingga membuat tingkat pengambil keputusan Jepang terpaksa mempertimbangkan masalah invasi ke Nanking apakah masih akan dilanjutkan, bersama itu pasukan Jepang masih menghadapi ancaman militer tersembunyi dari Uni Soviet di utara.
7 November 1937, ketika Tokyo-Jepang membentuk ulang pasukan ekspedisi Shanghai dan Korps ke-10 menjadi Pasukan Bagian Tiongkok Tengah dengan membatasi area pertempuran pasukan tersebut di daerah Su Zhou dan garis sebelah timur Jia Xing (juga disebut sebagai garis perintah).
Sedangkan komandan lapangan Jepang menuntut keras untuk menyerang Nanking: maka pada tanggal 15, korps ke-10 dari Heisuke Yanagawa tidak menghiraukan perintah dari penasehat pusat, ia membuat keputusan sepihak, memanfaatkan ketika tentara Tiongkok mundur secara kocar-kacir, ia memutuskan menyerang dan mengejar dengan segenap tenaga sampai Nanking.
Tanggal 22, komandan pasukan menghadapi Tiongkok, Iwane Matsui memersuasi penasehat pusat untuk melepas kebijakan "tidak memperluas" dan mengatakan: "Demi mendapatkan penyelesaian insiden secara cepat, dengan memanfaatkan kesempatan musuh dalam situasi terdesak, harus menyerang dan menduduki Nanking". Pada akhir November, pasukan ekspedisi Shanghai Jepang beserta korps ke-10 secara keseluruhan melanggar dan melampaui "garis perintah", mereka masing-masing menelusuri bagian selatan dan bagian utara Danau Tai Hu mulai menyerang ke arah Chang Zhou dan Hu Zhou. Berhubung perkembangan front depan sangat cepat sekali dan sudah menjadi kenyataan.
Tanggal 24, Tokyo-Jepang menghapus "garis perintah", serta pada 1 Desember menurunkan perintah resmi untuk menyerang dan menduduki Nanking. [Miao Miao / Beijing / China / Tionghoanews]
Bersambung ...