Pada tahun 1913-1922 ia belajar ekonomi di Tokyo Imperial University, Jepang. Disana ia bertemu dengan intelektual Cina lainnya (Guo Moruo, Zhang Ziping dan Tian Han). Bersama-sama, mereka mendirikan perkumpulan yang di beri nama Chuangzao she (Menciptakan Masyarakat) pada tahun 1921 dan menelurkan karya-karya sastra Cina.
Karya pertama Yu Dafu dan juga yang paling terkenal adalah Chenlun (Tenggelam), diterbitkan di Jepang pada tahun 1921. Karya tersebut membuatnya memperoleh popularitas besar di Cina. Buku tersebut berisikan sesuatu yang tabu di masyarakat Cina (terlalu terbuka membahas seks) dan keluhan-keluhan langsung terhadap pemerintah Cina waktu itu yang tidak mampu membuat kebijaksanaan untuk bangsanya.
Pada tahun 1922, ia kembali ke Cina sebagai selebriti sastra dan bekerja sebagai editor Creation Quarterly, mengedit jurnal dan menulis cerita pendek.
Pada tahun 1927, ia bekerja sebagai editor majalah sastra Hongshui. Ia kemudian berkonflik dengan Partai Komunis Cina dan melarikan diri lagi ke Jepang.
Setelah perang Jepang-Cina II berakhir, ia kembali ke Cina dan bekerja sebagai penulis propaganda anti-Jepang di Hangzhou, kemudian di Zhejiang. Dari tahun 1938-1942, ia bekerja sebagai editor sastra untuk surat kabar Sin Chew Jit Poh di Singapura.
Pada tahun 1942 ketika Tentara Kekaisaran Jepang menginvasi Singapura, ia terpaksa melarikan diri ke Indonesia, tepatnya ke Payakumbuh, Sumatera Barat. Di Payakumbuh, ia tinggal di antara orang Cina lainnya dengan identitas yang berbeda dan memulai bisnis minuman keras (pembuatan bir). Ketika diketahui bahwa ia satu-satunya penduduk yang bisa berbahasa Jepang, ia dipaksa membantu polisi militer Jepang sebagai penterjemah.
Masyarakat Payakumbuh mengenal Yu Dafu dengan nama Choulion. Ia dikenal ramah dan suka menolong. Selama bekerja dengan Jepang, Yu Dafu sering membantu masyarakat Payakumbuh, terutama keturunan Thionghoa. Ia sengaja menyalah-nyalahkan terjemahan bahasa agar masyarakat Payakumbuh tidak ditekan, diancam dan dianiaya oleh tentara jepang.
Di Payakumbuh, Yudafu memiliki seorang istri dan dua orang anak yang bernama Theha dan Youmeilan. Sebelum menikah, Yudafu tinggal bersama orang tua angkatnya (Che Chua Chen Song dan Upik Bonne) di Sumbar Optikal dekat pasar Payakumbuh. Setelah berkeluarga, yudafu pindah ke rumah di sebelah Pergaulan.
Pada 1945, identitas aslinya diketahui dan ia ditangkap oleh Kempeitai (Tentara Jepang). Kebanyakan orang meyakini ia dieksekusi oleh Jepang, dua minggu setelah Jepang kalah dan menyerah pada perang dunia II. Saat itulah masyarakat Payakumbuh mengetahui bahwa Ia adalah sastrawan terkenal dari Cina, sekaligus pahlawan nasional Cina yang bernama Yu Dafu.
Menurut kabar saat ditangkap oleh tentara Jepang, Yu Dafu dibawa ke arah Bukittinggi. Ada yang mengatakan ia dibunuh di Bukittinggi, tapi ada pula yang mengatakan ia dibunuh di batang Agam Payakumbuh. Setelah Yudafu di tangkap, kedua anaknya dibawa oleh kakeknya Che Chow Chow ke Jakarta dan diselamatkan oleh pemerintah RRC sampai ke Cina. [Lily Ng / Padang / Sumbar / Tionghoanews]