* Kekejaman menata bunga
Ilmu keindahan merangkai bunga Jepang, pada intinya adalah "Ilmu keindahan menggunting". Sebuah definisi tentang penataan bunga dari Hayakawa Nao hora: "Pepohonan yang berakar tidak dapat digunakan untuk menata bunga, merangkai bunga harus dimulai dari pengguntingan. Yakni menebang pohon, memotong rumput, menggunting cabang batang pohon dan menggunting bunga."
Sedangkan di Tiongkok dan Korea, cukup dengan memetik bunga tanaman liar, diletakkan di dalam vas bunga, kemudian ditata kembali dengan tanpa dihias sama sekali. Budaya pekarangan Jepang bukan menciptakan sebuah alam mini, melainkan secara ganas memangkas alam kemudian baru dilakukan perombakan. Sama halnya penataan vas bunga Jepang, keindahan ala Jepang kelihatan sunyi tenang, namun di belakang itu tersembunyi sisi keganasannya. Keindahan sunyi tenang serta sifat keganasan yang eksis bersama ini merupakan wujud asli kesenian Jepang.
* Keindahan buatan membalut kaki
Di Tiongkok juga pernah muncul fenomena dambaan keindahan buatan yang tidak alami semacam itu yakni pembalutan kaki kaum perempuan yang terjadi pada ratusan tahun belakangan ini (diduga dimulai pada abad ke-12 dan resmi dilarang setelah berdirinya Republik Tiongkok pada 1911), kaki perempuan sejak kecil dipaksa dibalut dengan kain untuk membatasi pertumbuhannya secara alamiah, ini demi menciptakan keindahan buatan yang mendambakan gaya berjalan perempuan seakan seperti "Pohon Willow ditiup angin" bergoyang ke kanan-kiri, memberi perasaan tersentuh bagi kaum pria. Ini jelas menunjukkan sebuah fenomena kelainan jiwa kaum pria di dalam masyarakat berbudaya patriarkal kuat yang merusak keindahan alami kaum perempuan.
Secara relatif dapat dikatakan Korea paling mendekati alamiah. Menata pekarangan rumah, Korea tidak memperkecil alam, malahan dipotong demi dikembangkan lagi, seperti Jepang yang tidak "menciptakan pemandangan", melainkan "meminjam pemandangan". Karena rumah itu sendiri justru dibangun di tengah alam, maka duduk di dalamnya menerawang ke tempat jauh tentu dibatasi oleh pagar, alam senantiasa hidup berdampingan dengan manusia. "Secret Garden" dari Seoul boleh dikatakan adalah pekarangan yang dapat mewakili Korea.
* Keindahan alami Bakaji
Alat musik gesek San Xuan (tiga senar) paling dapat mewakili Jepang, di Tiongkok adalah Er Hu (2 senar), di Korea adalah Bakaji. Dalam kehidupan sehari-hari di Jepang, Bakaji dapat digunakan untuk menampung air, juga dapat digunakan sebagi topeng. Dalam pemikiran orang Korea, Bakaji melambangkan watak sederhana yang paling mendekati alamiah.
Orang Tionghoa, Jepang dan Korea duduk bersama di dalam kereta bawah tanah, orang Jepang tanpa berkata-kata menatap ke satu arah; kedua mata orang Tionghoa tak hentinya melihat kesana kemari; sedangkan orang Korea tak ada hentinya ramai berbicara.
Ketika sedang bertengkar, orang Korea hanya cekcok tanpa bertindak kasar, kental bergaya ajaran Konfusius; orang Jepang hanya bertindak main kasar tanpa bicara, bergaya Bushido (ksatria ala Jepang); sedangkan orang Tionghoa bertengkar juga main tangan, berperang 3 dimensional penuh dengan siasat.
Tentang watak, orang Jepang tanpa bicara, berani mengutarakan dalam tulisan dengan gaya tubuh lepas; orang Korea penuh dengan perkataan kotor, tanpa berani disampaikan dalam tulisan dan berpikiran konservatif; orang Tionghoa menempuh jalan tengah diantara dua pihak.
Istri orang Korea mementingkan emosi rasa sayang, terhadap suami keras namun hangat; istri orang Jepang sangat menurut terhadap suami, lembut lagi sayang, namun sulit mengetahui isi hatinya; istri orang Tionghoa selain mementingkan emosi rasa sayang, juga berlapang dada, suaminya dilatih hingga sangat taat.
Orang Tionghoa dimana-mana terdapat tembok, dalam hatinya ada tembok, maka di dalam sejarahnya mengasingkan diri; orang Jepang di dalam bangunannya tidak terdapat tembok, hatinya juga tidak terdapat tembok, maka mampu menyerap banyak sekali budaya asing; di Korea terdapat banyak setengah tembok, maka setengah terbuka setengah tertutup, terhadap budaya asing bersifat menolak tapi juga menerima, pikirannya kompleks.
Orang Tionghoa bermental kontinental, licik dalam keduniawian, namun bersikap bermartabat dan lapang dada; orang Jepang bermental negeri pulau, pikirannya sempit, namun bekerja sangat teliti dan sungguh hati; orang Korea berperilaku orang semenanjung, sangat kuat harga dirinya, hatinya penuh "kebencian".
Orang Tionghoa menyukai bunga Peoni, warna merah dan harum, melambangkan kejayaan dan kemuliaan; orang Jepang menyukai bunga Sakura, berbunga sangat cepat dan juga sangat cepat rontok, menandakan keindahan yang ganas; orang Korea menyukai bunga Sharon (satu rumpun dengan bunga Sepatu), terlihat sederhana dan tidak mewah, kecil mungil, namun bersifat teguh pantang menyerah, eksis dengan tegar.
Orang Tionghoa senang membaca Samkok (Kisah 3 Negara), membahas masalah-masalah besar negara, berskala luas, seperti ensiklopedia, budaya dan kemiliteran semua tercakup didalamnya. Orang Jepang senang membaca "Chūshin kura" (Kitab pejabat setia) mengisahkan pertarungan ksatria samurai, pedang menyambar dan berkelebat, suasana kejam tanpa perasaan. Orang Korea senang membaca "Chunhyangjeon" (Kisah Chunhyang) yang menceritakan cendekiawan dan gadis rupawan, yang saling berpantun ria dan memadu kasih, indah dan anggun. [Yenni Huang / Solo]