Dalam teori kosmologi dentuman besar, jagat raya berawal dari titik kecil tak kasat mata yang tiba-tiba meluas. Teori pembentukan ini didukung oleh bukti pengamatan seperti radiasi sisa dalam panjang gelombang mikro dan nisbah hidrogen dan helium yang pas.
Sayangnya, teori relativitas umum bikinan Albert Einstein tak bisa menjelaskan kondisi jagat raya pada titik kecil. Keterbatasan ini mampu diatasi melalui teori superdawai. Dalam teori ini, partikel mendasar penyusun materi di alam semesta diandaikan seperti dawai yang bergetar.
Beberapa pola getaran bisa menjelaskan partikel yang bertanggung jawab atas gravitasi. Dengan begitu, kelahiran alam semesta bisa dijelaskan melalui superdawai. Namun teori ini memprediksi terdapat sembilan dimensi ruang, jauh lebih banyak daripada tiga dimensi yang biasa dikenal.
Peneliti gabungan dari High Energy Accelerator Research Organization (KEK), Shizuoka University, dan Osaka University mampu membuat simulasi komputer bagaimana superdawai bekerja saat kelahiran alam semesta. Komputer Hitachi SR16000 pada penelitian ini mampu mengolah data hingga kecepatan 90,3 teraFLOPS.
Hasil simulasi menunjukkan, pada awalnya alam semesta memiliki sembilan dimensi ruang. Pada tahapan selanjutnya, hanya tiga dimensi yang mengembang, membentuk jagat raya tiga dimensi tempat tinggal manusia.
"Hasil ini mendemonstrasikan bahwa alam semesta tiga dimensi yang kita tinggali memang berkembang dari sembilan dimensi," ujar peneliti dari High Energy Accelerator Research Organization Jun Nishimura dalam siaran pers pada website resmi.
Tak hanya mampu menjelaskan bagaimana alam semesta tiga dimensi terbentuk, simulasi ini juga memperkuat keberadaan teori superdawai dalam menjelaskan kelahiran alam semesta. Selanjutnya, teori ini tak hanya dipakai untuk menjelaskan masa lalu namun juga masa depan. Salah satunya adalah fenomena percepatan pengembangan alam semesta menyedot perhatian masyarakat setelah tiga penemunya diganjar anugerah Nobel tahun 2011. [Diana Chuang / Kendari / Tionghoanews]