Sesungguhnya, bicara tentang makna penting moralitas, kita ambil pengobatan tradisional Tiongkok (PTT) sebagai contoh. Dari zaman dahulu hingga kini, tabib besar selalu menandaskan, teknik pengobatan yang sesungguhnya langsung dibatasi oleh standar moral tabibnya, sementara kesehatan tubuh seseorang juga berhubungan erat dengan moralitasnya.
PTT zaman dahulu menganggap kebejatan moral seseorang merupakan penyebab fundamental manusia menderita penyakit. Misalnya buku PTT klasik yang tersohor Kitab Internal Kaisar Kuning (Huang Di Nei Jing) telah mencatat: "Energi positif eksis di dalam, maka energi buruk tidak akan dapat mengganggu".
Dalam Resep Penting Berharga Persediaan Darurat (Bei Ji Qian Jin Yao Fang) hasil karya tabib agung zaman Dinasti Tang bernama Sun Simiao (590-692) juga telah membeberkan secara sistematis tentang spesifikasi moral pengobatan. Orang yang tinggi moralnya, baru dimungkinkan kultivasi diri, sehingga mendapatkan teknik pengobatan yang sangat tinggi; jika tidak, mencampakkan sisi moral dan secara membabi-buta hanya mengembangkan sisi tekniknya saja, intisari dari PTT akan musnah, kita hanya dapat menyandarkan pengobatan Barat yang dikembangkan dari materi paling permukaan saja.
Bagi setiap orang, segala sesuatu terdiri dari dua sisi: materi dan spirit. Moral sebagai sesuatu yang eksis secara objektif, sesungguhnya ia eksis dalam dunia spiritual manusia yang "datang bersamaan di saat manusia dilahirkan". Ini bukanlah sebuah masalah sepele, mungkin saja memiliki sumber muasal yang luar biasa.
Seumpama, pada umumnya setiap orang ketika pertama kali berbuat jahat, seringkali akan merasakan perasaan berbuat dosa atas pelanggaran hati nuraninya. Ada juga yang merasakan kehampaan hati seperti melewati sang waktu dengan siasia. Walaupun perasaan itu tidak dapat dilihat dan diraba, akan tetapi ketika ia muncul, sering kali rasa penyesalan dan menyalahkan diri sendiri tersebut adalah sangat nyata, dan bersumber dari lubuk hati terdalam, secara naluri dan berasal dari "diri sendiri yang sesungguhnya".
Hati nurani bawaan lahir dan perasaan diri sendiri yang sesungguhnya, belum tentu tidak lebih nyata dari "rasa sentuhan" dan "penglihatan", lagipula ia eksis secara umum pada manusia, tidak mungkin eksis tanpa sebab. Kita tidak ada alasan untuk tidak memperhatikan unsur moral yang telah timbul tersebut, karena ini barulah berhubungan langsung dengan "diri sendiri yang sesungguhnya".
Bicara sampai di sini, dengan memadukan dua sisi spiritual dan moralitas tersebut, marilah kita menengok sejenak ilmu pengetahuan modern, terutama ilmu pengetahuan di negeri-negeri komunis dengan pedoman Marxisme. Terdapat sebuah dogma yang tersohor dan tersebar luas, yaitu materi menentukan kesadaran, fondasi ekonomi menentukan supra struktur.
Dilihat dari penjelasan dan bukti-bukti yang telah kita jelaskan sebelumnya, berhubung ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan matematika telah menyaring bersih lapisan spiritual dari segala sesuatu. Atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan modern sendiri dalam memahami lingkup spiritual telah memiliki hambatan bawaan, sehingga di bawah fondasi demikian, segala upaya menemukan dan studi untuk balik membuktikan materi menentukan spiritual, dan materi adalah sifat pertama, sedangkan spiritual hanya merupakan sifat kedua, semua itu hanyalah akan sia-sia saja.
Ini tak lain adalah diri sendiri telah dibatasi secara tuntas dalam sumur yang telah mengikat dirinya sendiri. Kemudian malalui langit sebesar mulut sumur melakukan pengamatan berulang-ulang puluhan ribu kali, akhirnya mendapatkan sebuah kesimpulan "ilmiah": langit memang sebesar mulut sumur! Sesungguhnya, dimunculkannya teori evolusi yang melangkah menuju ekstrim juga tidak dapat dikatakan tidak memiliki hubungan dengan lapisan spiritual yang telah disaring dalam ilmu pengetahuan alam.
Jika hal tersebut telah dimengerti, maka kita dapat menyaksikan dengan jelas. Argumentasi, "Jika ingin meningkatkan kualitas dan moral rakyat, harus mengembangkan ekonomi terlebih dahulu." Retorika "teori materialisme" semacam itu sebenarnya tidak memiliki dasar yang kokoh, bahkan konyol.
Ia memang dapat memenuhi dan memperbesar keserakahan manusia terhadap uang, juga melanggar hati nurani manusia dengan sifat ilahi, dengan sifat dasar jiwa dan prinsip Langit dalam dunia fana, maka tidak heran sederetan kemerosotan moral dan berbagai fenomena pelanggaran HAM, serta manusia saling memusnahkan telah begitu merajalela. Maka konsep-konsep keliru tersebut telah menyediakan dasar teori bagi ilmu pengetahuan tidak sempurna yang materialistis dan empiris, untuk itu ia memikul tanggung jawab yang tidak terelakkan.
Moral merupakan spiritual, ilmu pengetahuan empiris yang tidak mengenali eksistensi spiritualitas tentu tidak mungkin mengenali hakiki moral dan asal-usul sesungguhnya, apalagi terhadap hubungan sebab-akibat dari "perbuatan baik atau buruk ada imbalannya" apakah eksis, sama sekali tidak memiliki hak menyatakan pendapat, sehingga tidak mampu mengenali peran internal amat besar dari moralitas terhadap kehidupan manusia dan keberadaan serta rotasi hidup-mati alam sejagad.
Dengan demikian di bawah bimbingan ilmu pengetahuan yang selalu mengandalkan "materi" (hal yang nyata) dan ilmu empiris, angkuh, mentransformasi alam dengan membabi-buta, semaunya mengintervensi alam, menggunakan tongkat "ilmu pengetahuan" dengan bengis menggebuk "moral" yang mempertahankan eksistensi umat manusia ini. Bukannya memikirkan bagaimana dapat tercapai antara manusia dan Langit menyatu, bagaimana manusia dapat berkoeksistensi secara harmonis dengan alam, sehingga hanya mendatangkan bencana dan menanggung akibat yang sangat besar terhadap umat manusia.
Maka dari sudut satu ini, dapat dipastikan, ilmu pengetahuan yang tidak dapat mengenali dan melukiskan hukum moral sama sekali bukanlah ilmu pengetahuan yang sejati, ia benar-benar merupakan ilmu pengetahuan semu. [Teo Ai Ping / Jakarta]
Bersambung ...
***
Mari kita bersama-sama dukung Tionghoanews dengan cara kirim berita & artikel tentang kegiatan & kejadian Tionghoa di kota tempat tinggal anda ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id