Ketika saya belajar sastra China di Universitas Cambridge, 1968–1971, China sedang berada di puncak Revolusi Kebudayaan. Dunia luar tak banyak tahu apa yang sebenarnya terjadi, kecuali laporan media massa Eropa tentang mayat-mayat yang hanyut di Pearl River, dekat Hongkong dan Makao.
Selain menutup diri, negeri itu menolak segala yang berunsur Barat. Sebagai mahasiswa yang ingin belajar lebih lanjut, saya tak punya harapan untuk pergi ke China. Tapi dari sumber kepustakaan saya tahu, China senantiasa berubah seirama dengan perubahan kebijakan para pemimpinnya. Saya hanya bisa berharap dari perubahan itu.
Pemimpin Besar Mao Zedong memainkan peran penting sejak berdirinya Republik Rakyat China pada 1949. Ia menyingkirkan para pesaing dan musuhnya. Misalnya, ia menyerukan gerakan Anti-Kanan pada 1957 untuk menyingkirkan Zhou Enlai, pelopor gerakan Seratus Bunga tahun 1956.
Mao memprakarsai gerakan "Lompatan Jauh ke Depan" pada 1958 untuk memberi warna khusus bagi komunisme China. Berbeda dengan Soviet yang bertumpu pada industri berat, Mao menggalakkan pertanian yang ditunjang industri kecil di pedesaan. "Kalau Stalin hanya punya satu kaki, industri berat, kita punya dua kaki, yakni pertanian dan industri kecil," ucap Mao.
EMPAT MAKHLUK JAHAT
Mao menjejalkan aneka slogan. Para petani harus "menggali lebih dalam" untuk meningkatkan hasil. Ladang-ladang harus bebas dari "empat makhluk jahat": burung, tikus, serangga, dan lalat. Maka sepanjang 1958–1960 jutaan serangga, tikus, lalat, dan burung dibantai.
Berhasilkah upaya itu? Para petani yang "menggali lebih dalam" belum sempat memetik hasil ketika mereka jatuh kelelahan. Punahnya burung berdampak pada terganggunya keseimbangan alam, sehingga belakangan burung dikeluarkan dari daftar "empat makhluk jahat". Para pejabat sadar, ambisi Mao terlalu utopis. Tapi karena takut, mereka memberi laporan ABS. Angka produksi digelembungkan, data dan foto hasil panen direkayasa, sementara kenyataannya para petani menderita. Sepanjang 1958–1961 tak kurang dari 30 juta orang meninggal karena kelaparan.
Akhir 1958 Mao mundur dari jabatan sebagai pimpinan Partai Komunis. Ia sengaja mengambil jarak dari pusat kekuasaan agar bisa melihat betapa para pimpinan menjadi borjuis dan korup. Rakyat kehilangan semangat revolusioner. Bagi Mao, kenyataan itu tak bisa dibiarkan. Harus ada reformasi untuk meluruskan kembali jalan revolusi. Itulah Revolusi Kebudayaan. "Kebudayaan" tidak hanya berarti kesenian, melainkan seluruh aspek dan lembaga kemasyarakatan.
Mao mengerahkan ribuan pelajar dan mahasiswa ke Lapangan Tiananmen di pusat Kota Beijing. Mereka membawa buku kecil warna merah, The Little Red Book, berisi kutipan naskah-naskah pidato Mao.
Belakangan gerakan diperluas ke kalangan pekerja, buruh, dan petani. Mereka mengecam siapa pun yang berada dalam posisi pimpinan. Sering kecaman berubah menjadi sanksi atau hukuman. Korban berjatuhan, baik karena hukuman maupun bunuh diri.
Seorang dokter ahli bedah otak, misalnya, tiba-tiba dimutasi menjadi petugas kebersihan WC. Dosen atau petinggi universitas dialihtugaskan ke peternakan babi. Birokrat dikirim ke pedalaman agar menghayati keadaan rakyat.
Revolusi Kebudayaan juga menyertakan istri Mao, mantan bintang film tak terkenal Jiang Qing, untuk menyingkirkan para pesaingnya dalam ranah kesenian. Opera, film, dan panggung teater didominasi produksi Madam Mao. Lukisan bunga dan alam tak boleh dipasang, diganti gambar bendera merah, traktor di ladang, atau gambar Mao dalam ekspresi heroik.
Kaum perempuan tak boleh lagi berambut panjang dan dandan sesukanya. Jika ketahuan Tentara Merah, rambut mereka akan dipotong dan celana panjang ketat mereka akan dirobek di depan umum. Banyak pengarang dipenjara, dibuang ke kamp kerja paksa, atau dibiarkan frustrasi hingga bunuh diri. Beberapa pemusik atau pianis dipotong jarinya oleh Tentara Merah.
Sejak 1971 keadaan menjadi normal dalam versi Mao. Sekolah dan universitas dibuka kembali dengan syarat hanya buruh dan petani yang boleh belajar. Mahasiswa asing dan turis boleh datang, meski dalam wilayah terbatas. Para turis hanya disuguhi traktor dan sistem irigasi disertai pidato propaganda.
Saya beruntung tahun itu bisa ikut dalam rombongan pertama mahasiswa asing yang mengunjungi China setelah tertutup sejak 1966. Saya senang bukan karena bisa berkomunikasi dengan rakyat China dalam bahasa mereka, tetapi karena setiap kali bisa berbagi makan dengan mereka yang ternyata memang kelaparan.
Kunjungan singkat itu membuat saya ketagihan. Dengan keberuntungan yang lebih, pada 1975, permohonan saya ikut program pertukaran mahasiswa Inggris–China diterima.
FILM PROPAGANDA
Malam hari, 25 Sept 1965, saya bergabung dengan 9 mahasiswa Inggris lain mendarat di Bandara Beijing. Ada Rose yang sedang mendalami sejarah kesenian dan arkeologi China di London, ada pula Beth yang baru lulus dari Cambridge dan terpaksa meninggalkan suami serta anjingnya. Rombongan dari Leeds University, di antaranya Gerry dan Jim, serta Sarah yang baru saja melewati tingkat II.
Kami diangkut dengan bus menuju Foreign Language Institute di barat laut Beijing. Di kawasan itu terdapat berbagai perguruan tinggi dan institut, tak jauh dari Beijing University. Kami menuju asrama. Banyak mahasiswa asing di sana. Mereka yang dari negara maju belajar bahasa, sementara kebanyakan mahasiswa asal Asia dan Afrika belajar teknik dan kedokteran.
Asrama kami berlantai dua berwarna abu-abu, bagian dalamnya dilabur warna putih yang masih baru. Karena kualitas labur tidak bagus, lama-kelamaan rontok.
Paginya, usai sarapan, kami dibawa ke Kedubes Inggris yang terletak di kawasan diplomatik di sisi tenggara kota, Jianguomen wai. Pejabat kedutaan menasihati kami cara hidup sebagai orang asing agar tidak terjerumus dalam kesulitan.
Di kawasan diplomatik terdapat toserba Friendship Store yang menjual aneka barang asing keperluan sehari-hari. Tak jauh dari situ terdapat kompleks perumahan diplomat yang dijaga Tentara Pembebasan Rakyat bersenjata lengkap. Setiap rumah punya balkon, setiap keluarga memiliki tukang masak dan perawat anak yang disediakan oleh Public Security Bureau.
Setiap Jumat sore kami dijemput minibus untuk menuju The Bell, pub di Kedutaan. Sedangkan Sabtu pagi biasa diisi kegiatan senam tajiquan di lapangan kampus.
Hari Sabtu pertama diisi pemeriksaan kesehatan. Meski di negara asal kami sudah diperiksa, dan ada surat keterangannya, pihak berwenang di kampus tidak mau tahu. Lucunya, kaum laki-laki tidak perlu diperiksa darah, sementara para mahasiswi diambil darahnya untuk maksud yang tidak kami ketahui.
Sering di malam hari di lapangan terbuka diputar film. Beberapa film sempat saya saksikan. Haixia, misalnya, berkisah tentang bayi di keranjang yang ditemukan oleh pasangan nelayan yang lantas hidup sengsara. Kampungnya diserbu tentara Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek, keluarganya disiksa dan dibunuh. Sampai akhirnya Tentara Pembebasan Rakyat menyelamatkan dia, dan sejak itu hidup bahagia. [Bersambung]