IPTEK | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Selasa, 03 Januari 2012

MAO ZEDONG (2): SAAT TERAKHIR REVOLUSI KEBUDAYAAN CHINA

Tempat kuliah saya berada di sebuah bangunan abu-abu. Di depan terdapat patung Mao Zedong sebesar dua kali ukuran manusia. Sangat gagah dalam mantel khasnya, mengacungkan satu tangan ke depan. Itu memang pose standar Ketua. Tapi karena di seberang jalan terdapat Institute for Petroleum Studies dengan patung Mao yang sama besar dan sama posenya, jadinya kedua patung itu terkesan saling menghormat.

Kami diajar dua orang guru, Hu Laoshi (Guru Hu) dan Tian Laoshi. Hu lebih tua, santun, dan tenang, sedangkan Tian lebih muda namun berwibawa. Yang menyamakan keduanya adalah pakaian khas setelan abu-abu kedodoran.

Setiap hari, kecuali Minggu, kami belajar bahasa mulai pukul 08.00 -12.00, diselingi istirahat 20 menit. Pukul 10.00 selama delapan menit seluruh penghuni kampus bersenam diiringi musik. Lompat-lompat, membungkuk sampai jari tangan menyentuh jempol kaki, dsb. Tak ada minum kecuali di kantin.

Selasa sore kami melakukan laodong atau "pekerjaan tangan". Bagi pelajar dan kaum intelektual China, kerja tangan paling membanggakan adalah mencangkul. Namun di Institut hal itu tidak diwajibkan, mungkin dianggap kelewat keras sehingga bisa menimbulkan protes di tingkat pejabat pemerintahan. Tapi beberapa mahasiswa Kanada yang getol mendalami Marxisme dan Leninisme tetap semangat mencangkul di sawah.

Kami juga ditugasi memecah batu bata untuk campuran semen. Heran, batu bata di China sangat rapuh. Saya jadi takut menyandarkan badan di tembok.

Kami juga diberi tugas membersihkan rumput. Bagi orang China masa itu, rumput adalah sarang nyamuk dan serangga lain, makhluk yang pada 1958 diperintahkan Mao untuk dibasmi. Ketika saya katakan, habitat nyamuk adalah genangan air dan bukan rumput, para pembimbing tidak mau tahu. Pantas, di banyak tempat yang saya kunjungi tidak banyak warna hijau.

Setiap Rabu sore kami wajib mengikuti pelajaran olahraga. Lari keliling lapangan, anggar menggunakan bambu, juga melakukan taijijian, versi lain dari taijiquan yang artinya pukulan pedang. Kami juga melakukan tolak peluru. Malah ada mahasiswi Spanyol yang kakinya kejatuhan peluru besi bulat.

Hanya sedikit mahasiswa yang bersemangat ikut. Kebanyakan ogah-ogahan. Padahal para instruktur tetap semangat mengulang-ulang seruan Ketua Mao, "Kembangkan kekuatan fisikmu agar mampu membela Tanah Air!"

Ada juga latihan lempar granat. Yang kami genggam adalah granat kuno yang sudah tak bisa meledak, tidak ada pen pencabutnya. Tapi kami harus melakukannya penuh semangat, pura-pura menggigit pen kemudian melemparkannya. Kegiatan itu jelas tidak diketahui pihak British Council. Saya berpikir, apa kata masyarakat Inggris jika tahu uang pajak mereka dipakai untuk membiayai mahasiswanya mengikuti kegiatan yang mirip latihan gerilya di China?

Jumat sore kami belajar bahasa dan analisis aneka peristiwa yang biasa dimuat harian People's Daily.

Waktu terus berjalan. Hingga pada akhir minggu ketiga yang menjemukan, kami harus melakukan kaimen banxue atau "sekolah di luar ruangan". Kami dikirim ke kawasan pertanian.

Para petani bekerja di ladang-ladang negara, menggarap tanaman kubis, bawang, gandum dan padi, juga buah-buahan. Semua hasil disetorkan kepada pemerintah melalui unit kerja desa, sementara keluarga petani tinggal memiliki sedikit lahan untuk ditanami sayuran. Setiap hasil panen yang disetor, yang mestinya dibayar tunai oleh pemerintah, pada praktiknya sering diganti dengan minyak, telur, gandum, atau kayu bakar.

BERAPA HARGA CELANA?

Bergaul dengan petani ternyata cukup menyenangkan. Banyak kejutan. Misalnya, dugaan semula bahwa orang China menikah pada akhir usia 20-an demi program keluarga berencana, ternyata salah. Mereka terkejut ketika tahu saya masih lajang pada usia 27. Malang bagi teman saya Rose, karena tunangannya yang ditinggal di Inggris berumur 37 tahun. "Bagaimana mungkin kamu mencintai laki-laki setua itu?" tanya petani di komunitas rakyat Sijiqing.

Hampir setiap saat kami membicarakan harga. Mereka bertanya berapa harga celana, berapa harga televisi, dan ketika saya jawab angkanya dalam hitungan yuan, mereka berseru sambil menahan napas. Ketika saya katakan harga rumah di Inggris jika dihitung dalam yuan, mereka berteriak.

Rupanya, keingintahuan orang China soal harga tidak hanya pada waktu itu. Dalam kisah pengalaman seorang dokter Spanyol yang menyertai diplomat Inggris di masa awal pembangunan gedung Kedubes Inggris di Beijing, tahun 1866, juga diceritakan, para tukang setempat banyak bertanya tentang harga celana.

PERMOHONAN MEMBELI SEPEDA

Institut Bahasa terletak di pinggiran Beijing. Jarak antar tempat di kampus juga cukup jauh. Sehingga saya dan beberapa teman memutuskan untuk membeli sepeda.

Setiap hari jutaan sepeda berlalu-lalang di kota, namun hampir tak ada sepeda baru. Kebanyakan sepeda laki-laki dengan palang melintang, warnanya pun hitam. Rupanya, itu akibat prosedur yang cukup berbelit untuk memiliki sepeda, selain memang mahal harganya.

Sebuah keluarga, misalnya, bisa menabung sepanjang satu tahun untuk membeli sepeda. Ketika uang sudah terkumpul, ternyata mereka hanya bisa mendaftar untuk beli satu.

Sepeda dikenai pajak tahunan. Ada pelat nomor yang dipasang pada penahan lumpur di ujung spatbor belakang. Jika nomor ini tak ada ketika diperiksa polisi, pengendara didenda 20 yuan (sepertiga gaji rata-rata pekerja di China). Denda yang sama diterapkan bagi setiap pelanggaran. Misalnya, bersepeda sambil membawa payung terbuka, memboncengkan orang, dsb.

Orang asing hanya bisa membeli sepeda di Friendship Store. Saya memilih sepeda perempuan tanpa palang yang ternyata malah merepotkan karena kelewat ringan. Perjalanan 9 km dari toko ke kampus harus saya tempuh dengan jumlah kayuhan berlipat kali dibandingkan dengan teman yang membeli sepeda laki-laki.

Sesampai di asrama, kami masih dihadapkan pada keruwetan untuk memperoleh pelat nomor. Pertama, kami harus memiliki kartu mahasiswa. Bentuknya seperti dompet plastik berisi foto pemilik, dilengkapi beberapa cap dan tanda tangan para administrator. Masalahnya, saat itu belum ada jasa foto kilat di Beijing. Kami harus pergi ke studio foto Wudaokou, difoto, kemudian menunggu seminggu sampai foto jadi.

Di pusat kota, lalu lintas padat oleh sepeda yang berbaur dengan bus dan lori. Serunya, semua bersaingan membunyikan bel dan klakson. Saking ributnya, bel jadi kehilangan makna. Tertabrak atau terserempet adalah hal biasa.

Di masa Revolusi Kebudayaan lampu tidaklah penting. Maka bersepeda di malam hari menjadi kesulitan tersendiri. Apalagi di atas pukul 21.00, saat lampu lalu-lintas tidak berfungsi karena petugasnya pulang.

Di tempat parkir yang bertarif seragam dua yuan, penjaga yang kebanyakan perempuan memberikan sepotong karton bernomor yang digapit bambu, sementara potongan lain dengan nomor yang sama diikatkan di setang. [Bersambung]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: KISAH

ARTIKEL: BERITA