* Mulainya emigrasi dari Tiongkok.
Emigrasi penduduk Tiongkok mencatat riwayat panjang; sejak dynasty Qin, tahun 210 se- belum Masehi, Qin Shi Huang mengirim ribuan warga laki-laki dan perempuan, keluar dari Tiongkok untuk mencari ramuan hidup abadi, dan mereka tidak pernah pulang kembali.
Dalam masa dynasty Han, Tang dan seterusnya emigrasi penduduk dari daratan Tiongkok ber- kelanjutan, banyak pedagang kelana yang tidak kembali ke tanah kelahiran, mereka menetap di Arab, Eropa, berkeluarga dengan penduduk se-tempat atau dengan sesama emigran.
Emigrasi serempat terjadi dalam abad 14, masa dynasty Ming, kebanyakan dari propinsi FuJian dan Guang Dong, dua propinsi di bagian selatan, mentaati titah kaisar ZhengHe, merantau sebagai utusan dagang kekaisaran, ke region sekitar laut Tiongkok selatan dan lautan India.
Gelombang besar emigrasi penduduk Tiongkok adalah dalam abad 19, sewaktu kekaisaran dynasty Qing (Manchuria) menghadapi perlawanan pemberontak. Perang saudara berjalan berlarut membawa penduduk kepada kemelaratan hidup dan kelaparan, khususnya warga propinsi dimana pertempuran kerap terjadi, propinsi FuJian dan GuangDong.
Abad 19, adalah masa kejayaan kolonialis barat; daerah jajahan tersebar luas, meliputi juga Asia, di sekitar daratan Tiongkok. Menggarap tanah jajahan membutuhkan banyak tenaga kerja; sementara di banyak daerah koloni perbudakan sudah berangsur dihapus, terutama di Afrika, budak-budak dibebaskan.
Untuk menutup kekurangan tenaga, pemerintah kolonial melirik penduduk di Asia, antara lain dari Tiongkok dan India. Kekaisaran Qing, yang sedang melemah, satu dan lain hal ka- rena korupsi meraja-lela, tidak dapat menepis tekanan negara kolonialis. Sekali lagi, warga propinsi FuJian dan Guang Dong ber emigrasi; pada waktu itu di kedua propinsi inilah kehidupan paling mengenaskan.
* Kehidupan sebagai kuli (pekerja kasar).
Emigrasi masal dari Tiongkok terjadi demi penghidupan yang lebih baik; ke Afrika selatan, Asia tenggara, benua Amerika dan Australia. Mereka bukan kalangan terpelajar, mereka di butuhkan sebagai pekerja kasar, dikenal sebagai kuli. Pada bagian besarnya tenaga mereka dibutuhkan di pertambangan atau pembuatan jalan kereta api.
Pencaloan kuli berkembang marak, terkenal di-sebut perdagangan anak babi. Kuli direkrut dengan janji upah dan kondisi kerja yang baik, sebagian juga karena terlibat hutang, atau diculik. Kuli Tionghoa menjadi favorite, mereka dikenal sebagai pekerja keras berfisik kuat serta bersemangat besar mencari nafkah bagi keluarga.
Perbudakan sudah dihapus, kenyataannya perlakuan terhadap kuli sangat kasar, tiada ubahnya budak. Sebagian tewas, bahkan sebelum mencapai tempat tujuan kerja. Sarana transportasi yang buruk dan kurangnya makanan di dalam perjalanan sangat jauh adalah penyebabnya.
Upah dan kondisi yang diterima sangat jarang sesuai dengan perjanjian, mereka harus menelan keadaan, tiada jalan untuk kembali pulang ke kampung halaman, juga sesudah ikatan kerja terpenuhi. Biasanya tidak lebih 5% dari jumlah mereka semula yang bertahan hidup seusai suatu proyek dikerjakan, sangat memprihatinkan.
* Pekerja Tionghoa diminati negara barat.
Selain pekerja keras, orang Tionghoa bersedia menerima upah relatif rendah. Sampai masa sekarang pun, hampir tidak pernah karyawan Tionghoa menuntut akan upah seperti yang diterima karyawan bule, walau mereka bekerja di bidang yang sama. Mempekerjakan karyawan Tionghoa meningkatkan daya saing perusahaan.
Permintaan akan tenaga kerja dari Tiongkok bertambah-tambah, antara lain dari Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia baru, yang pada saat itu (abad 19), masih berkembang pesat. Mereka tidak lagi datang sebagai kuli saja, melainkan dipekerjakan juga di pabrik, di perkantoran, bank, biro jasa, kuliner dan sebagainya.
Pertambahan drastis populasi imigran tenaga kerja Tionghoa, disadari warga setempat sebagai ancaman serious terhadap ketersediaan lapangan kerja bagi mereka. Terlebih karena tenaga kerja Tionghoa dikenal sebagai salah satu dari tiga etnis Asia, berkemampuan bagaikan kuda, bekerja 16 jam sehari, untuk dua perusahaan, dalam shift waktu kerja beruntun.
Kebijakan diambil pemerintah negara bersangkutan guna membatasi keleluasaan imigran dari perolehan pekerjaan. Diskriminasi terjangkit, memusuhi, sampai kepada pembunuhan besar-besaran etnis Tionghoa, antara lain yang terjadi di setiap kota di California, Amerika Serikat, dalam abad 19. Pembunuhan etnis yang sama, juga terjadi dibanyak tempat lain dalam waktu berbeda.
* Kehandalan hidup dan ketahanan berbudaya.
Tekanan keadaan kiranya merupakan penempaan bagi siapa saja yang bersemangat menjalani kehidupan. Kehandalan etnis Tionghoa menunjukkan akan hal itu, sesudah demikian banyak pengorbanan selama beberapa generasi. Hal mana tidak akan dimengerti oleh yang tidak mengalaminya, tidak juga oleh penduduk di daratan Tiongkok, yang tidak merasakan tekanan hidup diperantauan, sebagai minoritas di negara lain.
Selain bersemangat kerja, berhasrat besar bernafkah bagi keluarga, kemampuan beradaptasi, ada ciri lain etnis Tionghoa, yang sulit diterangkan alasannya, ialah kegigihannya melestarikan kemurnian budaya. Padahal tidak ada instruksi, indoktrinasi atau hal semacam itu, dari daratan Tiongkok.
Di lokasi dimana komunitas etnis Tionghoa bermukim atau berkegiatan, yang popular disebut China Town, di kota di berbagai negara, di dirikan gapura bernuansa Tiongkok, bergaya seni dari dynasty yang berbeda-beda. Pelestarian budaya juga terlihat melalui seni tari, fashion, bahasa, Chinese Food restaurant yang mendunia dan banyak lagi bidang lainnya.
Demikianlah penyebaran etnis Tionghoa, ke segala penjuru dunia terjadi sejak lama, mulainya bukan atas inisiatif emigran. Mereka ber emigrasi melepaskan diri dari tekanan hidup, yang ternyata hanya untuk memasuki penderitaan lain yang bahkan jauh lebih berat. Begitulah kepahitan hidup beberapa generasi, sebelum kemudian mencapai keadaan sekarang.
Oleh karenanya adalah bijaksana sekiranya etnis Tionghoa bermawas diri, sebagai refleksi pengenangan, penghormatan, penghargaan, atas pengorbanan yang telah dibayar generasi terdahulu, dimanapun berada. [Fransisca Agustin / Jakarta]
* DA JIA PENG YOU - XIN NIEN KUAI LE - GONG XI FA CHAI *